Ramadhan di Antara Indonesia Gelap dan “Kabur Aja Dulu”

Ramadhan di Antara Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu

Ramadhan selalu datang dengan sejuta harapan. Bulan suci yang seharusnya menghadirkan ketenangan, tapi di negeri ini, ia tiba di tengah berbagai kecamuk. Ada yang menantinya dengan hati penuh syukur, ada pula yang terhimpit dalam gelapnya keadaan. Sebuah realitas yang tak bisa dihindari.

Lihatlah bagaimana angka pemutusan hubungan kerja (PHK) terus meningkat. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sepanjang Januari hingga Desember 2024, sekitar 80.000 pekerja kehilangan mata pencaharian. (kompas.id) Tahun sebelumnya? 60.000. Begitulah, angka-angka yang terus bertambah, seperti lautan gelap yang semakin dalam. Dan semua ini terjadi ketika Ramadhan seharusnya menjadi penguat bagi hati yang lelah.

Di negeri ini, kehidupan sering terasa seperti labirin. Ada begitu banyak masalah yang berseliweran, tapi sering kali orang-orang lebih memilih diam. Atau, mungkin lebih tepatnya, memilih jalan lain—kabur saja dulu. Bukan hanya tentang individu yang menghindari tanggung jawab, tapi ini tentang sebuah mentalitas. Tentang bangsa yang terlalu sering pura-pura tak tahu.

Indonesia yang Gelap

Negeri ini punya begitu banyak cerita yang menyesakkan dada. Dari kemiskinan yang tak kunjung reda, hingga korupsi yang seperti penyakit kronis—tak pernah ada obatnya. Harga bahan pokok terus melonjak, membuat para ibu rumah tangga mengelus dada. Sementara itu, mereka yang punya kuasa malah sibuk menyelamatkan kepentingan sendiri. Keadilan? Ah, barangkali itu hanya dongeng sebelum tidur bagi mereka yang berharap.

Dunia politik pun tak banyak membawa cahaya. Polarisasi semakin tajam, janji-janji perubahan hanya sekadar ucapan kosong yang berulang setiap pemilu. Seharusnya, Ramadhan menjadi titik balik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—orang-orang semakin pesimis, semakin pasrah.

Mentalitas “Kabur Aja Dulu”

Inilah cermin dari bangsa ini. Ketika masalah datang, solusinya bukan menghadapinya, tapi menghindarinya. Ketika tekanan hidup mendera, pilihan pertama bukan mencari jalan keluar, tapi berutang atau berharap keajaiban datang. Dari pengusaha yang mengakali pajak, politisi yang cuci tangan atas kebijakan yang gagal, hingga pegawai yang lebih sibuk mencari cara untuk tidak bekerja—semuanya berlomba menjadi yang tercepat dalam “kabur aja dulu.”

Ini bukan sekadar fenomena sesaat. Ini budaya yang mendarah daging. Di setiap generasi, selalu ada mereka yang memilih untuk menghindar. Padahal, semakin lama kita lari, semakin panjang bayangan yang mengejar. Dan semakin kita pura-pura tidak tahu, semakin besar masalah yang akan kita hadapi di kemudian hari.

Ramadhan Harapan di Tengah Kegelapan

Tapi Ramadhan selalu membawa secercah cahaya. Seperti pelita kecil di tengah malam yang kelam. Bulan ini bukan sekadar soal menahan lapar dan dahaga, tapi juga tentang keberanian untuk menghadapi kenyataan. Momen untuk merenungkan, apakah kita akan terus berlari dari masalah atau akhirnya memilih untuk menyalakan cahaya perubahan?

Ramadhan mengajarkan tentang kejujuran, keteguhan, dan keberanian. Mungkin sudah waktunya kita berhenti mencari jalan pintas dan mulai menapaki jalan yang benar. Sudah saatnya kita menyalakan lentera, bukan terus meraba dalam kegelapan.

Indonesia mungkin masih gelap, dan banyak yang memilih kabur. Tapi Ramadhan selalu mengajarkan, selama masih ada cahaya, selalu ada harapan bagi mereka yang berani melangkah.

Untuk menemukan semangat itu, banyak orang menghadiri berbagai acara inspiratif di bulan suci. Salah satunya adalah event Rimago Ramadhan di Jakarta Timur, tempat di mana para peserta berbagi cerita, mendengarkan kajian keislaman, dan menemukan kembali makna Ramadhan di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Dalam suasana penuh kehangatan, mereka belajar bahwa harapan tidak pernah benar-benar padam. Kadang, kita hanya perlu berada di tempat yang tepat untuk kembali menemukannya.

Tinggalkan komentar